Asal Mula Suara Burung Terkukur
Asal Mula Suara Burung Tekukur
"Kamu sih boros," kata suaminya.
"Kamu sendiri? Jangan ingin menang sendiri!" istrinya menjawab ketus. Setiap hari suami istri Tekukur itu bertengkar. Tidak ada keceriaan di wajah mereka.
Puter, saudara Tekukur, datang berkunjung. Ketika melihat kesusahan saudaranya, Puter merasa kasihan. Ia berusaha membantu saudaranya, mencari jalan keluar.
"Saudaraku, coba kamu minta tolong kepada Betet. Pinjamlah padi. Nanti dibayar kembali waktu musim panen." Saran Puter kepada Tekukur.
"Terima kasih, Puter. Aku dan istriku akan mencoba meminta pertolongan Betet. Mudah-mudahan ia punya rasa kasihan,"
Siang itu udara sangat panas. Suami istri Tekukur lemas karena sudah beberapa hari tidak makan. Terpaksa mereka harus mengepakkan sayapnya. Padahal, sarang Betet cukup jauh.
"Betet yang baik, keluargaku mohon kebaikanmu. Kami minta pertolongan."
"Hem, ... aku tak punya apa-apa."
"Aku mau pinjam padi untuk makan anakku yang sedang sakit."
"Padiku tinggal sedikit."
"Tolonglah."
"Ya, ... boleh. Namun, ada syaratnya,"
"Apa syaratnya?"
"Bawa satu anakmu ke sini. Aku perlu untuk menemani anak-anakku dan merapikan rumahku selagi aku pergi."
"Anakku sakit semua."
"Kalian perlu padi atau tidak?"
"Ya, sangat perlu, tetapi ...."
"Terserah."
Tekukur kembali ke sarangnya. Suami istri Tekukur itu berunding, dengan berat hati mereka memilih anaknya yang sulung untuk dijadikan teman anak-anak Betet. Pada saat Tekukur menerima lima untai padi, air mata mereka mengucur deras. Mereka sebenarnya tidak tega anaknya menjadi pembantu dan harus tinggal di sarang Betet. Dalam perjalanan pulang suami istri Tekukur itu terbang dengan pelan, tanpa daya. Jika saja kedua burung itu tidak ingat anaknya yang lain, mereka malas terbang kembali ke sarangnya. Beberapa hari keluarga Tekukur itu dapat bertahan hidup. Sehari mereka sekeluarga memakan satu untai padi. Pada hari keenam padi pinjaman dari keluarga Betet sudah habis. Mereka kembali bermasalah dan hanya bisa merenungi nasibnya. Suami istri Tekukur sangat sedih dan teringat akan penukaran padi yang tidak seimbang. Mereka teringat anaknya yang tinggal di rumah keluarga Betet. Mereka teringat pula pada musim panen yang telah berlalu. Masa panen pun datangnya masih lama lagi. Suami istri Tekukur itu menyesal seumur hidup. Mereka menyesal tidak meniru kebiasaan keluarga Betet untuk menyimpan sebagian makanannya.
"Siut ... jeprot!" dari atas ada yang mematuk dan mencakar kepala pasangan Tekukur itu. Kedua Tekukur pun spontan terbang.
"Aduh, Alap-Alap. Kenapa kamu ini? Tidak ada masalah di antara kita," kata Tekukur sambil terus terbang. Namun, Alap-Alap terus mengejarnya dan berusaha mematuknya.
"Eh, Tekukur! Tidak punya rasa kasih sayang sama anak! Anak sendiri kalian tukar hanya dengan beberapa untai padi. Dasar burung tak tahu diri! Teganya kalian menukar anak. Aku benci kalian! Benci!" teriak Alap-Alap.
"Apa hubungannya denganmu? Tak ada, bukan?" jawab Tekukur.
"Memang tak ada. Namun, aku peduli akan kasih sayang. Mengapa sebagai orang tua kamu tidak punya kasih sayang? Mengapa tidak belajar mengumpulkan makanan?" kata Alap-Alap sambil terus terbang.
"Aku sendiri sedang susah, Alap-Alap. Mengapa kamu menambah kesusahan kami?"
Sepasang Tekukur itu tak tahan lagi mendengar omelan burung Alap-Alap. Mereka terbang diam-diam tanpa tujuan yang jelas. Air mata mereka deras mengucur. Sambil menangis, Tekukur betina mengeluarkan kata-kata penyesalannya, "Kaduhung, kaduhung, kaduhung!
Tekukur jantan menyambut perkataan istrinya, "Kaduhung, kaduhung, kaduhung, aduh, aduh!"
Sementara itu, manusia mendengar bunyi Tekukur betina "kaduhung" menjadi "tekukur", sedangkan bunyi Tekukur jantan "kaduhung, aduh, aduh" menjadi "tekukur, guk, guk".(2)
8. Asal Mula Tabiat Musang Musim kemarau panjang sekali. Hutan-hutan gundul, pohon-pohon meranggas, sungai kering kerontang. Tak ada makanan sedikitpun. Kelaparan di mana-mana. Banyak binatang yang lemas dan mati karena kehausan dan kelaparan. Konon ada seekor Musang yang tubuhnya sangat lemas. Beberapa hari ia tidak menemukan makanan. Walaupun lemas, ia memaksakan diri berjalan ke sana kemari mencari makanan."Sudah berhari-hari aku mencari makanan, tetapi tak ada makanan sedikitpun ku temukan. Ah, nasib," kata Musang itu mengeluh.
Panas terik membuat tubuhnya tak berdaya. Dengan sisa tenaganya ia tetap melangkahkan kakinya pelan-pelan. Akhirnya, sampailah sang Musang di hutan belantara.
"Oh, ada bangunan!" kata Musang terkejut. Matanya tak lepas mengawasi bangunan itu. Ada harapan untuk mendapatkan makanan karena kelihatannya bangunan itu tempat menyimpan makanan. Ada pula kecemasan kalau-kalau apa yang diharapkan tidak menjadi kenyataan. Berkat ketajaman penciumannya, Musang itu akhirnya tahu kalau bangunan tersebut memang gudang makanan. Air liurnya meleleh karena membayangkan nikmatnya makanan. Walaupun tubuhnya sangat lemas, ia masih berusaha menumbuhkan keberanian.
Musang berjalan mengelilingi tembok bangunan gudang. Ia mencari lubang supaya bisa masuk.
"Wah, ini dia," kata Musang merasa senang sebab menemukan lubang. Sayangnya lubang itu sangat kecil. Musang memasukkan kepalanya, kemudian badannya.
Musang pun masuk ke ruangan gudang itu. Ia terpana melihat makanan begitu banyak.
Ia seperti dalam mimpi saja. Makanannya enak-enak. Musang yang tadinya lemas, semangatnya bangkit kembali. Ia langsung memakan semua daging dan ikan yang ada di situ."Ah, nikmat sekali hidup ini. Banyak sekali makanan di sekelilingku. Sampai kapan aku bisa hidup seenak ini?" gumam Musang itu sambil mulutnya tidak berhenti mengunyah.
Musang itu terus saja makan. Ia ingin menghabiskan semua makanan yang ada di gudang itu.
"Aku tidak peduli siapa pemilik gudang makanan ini. Pokoknya semuanya akan ku habiskan. Ha ha ha ... ha ha ha," kata Musang itu kegirangan.
Tiba-tiba saja pintu terbuka. Sang Musang sangat terkejut sebab semuanya di luar perhitungannya. Yang datang adalah seorang manusia tinggi besar. Manusia itu berdiri di depan pintu mengawasi ke dalam gudang.
Pemilik gudang sangat marah melihat makanannya berantakan. Dia mencari-cari siapa yang melakukan semua itu."Hai, siapa yang mengobrak-abrik gudangku?"
Tak ada jawaban. Keadaan dalam ruangan sunyi. Pemilik gudang bertambah marah.
"Cepat ke luar! Tunjukkan batang hidungmu!" teriak pemilik gudang sambil mengamati ruangan.
Di sudut yang agak gelap ia melihat suatu benda yang mencurigakan. Warnanya kehitam-hitaman. Dengan mengendap-endap pemilik gudang mendekati benda yang dicurigainya itu."Hah, seekor musang?" kata pemilik gudang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Pemilik gudang mengejar Musang sambil membawa kayu. Musang teringat akan lubang yang semula dilewatinya. Ia berlari ke lubang itu dan memasukkan kepalanya. Kepala Musang itu masuk, tetapi tubuhnya tidak karena perutnya telah membesar. Pemilik gudang telah berdiri di hadapan Musang."Sekarang apa dayamu?" sentak pemilik gudang.
Pemilik gudang menangkap sang Musang. Musang itu pun tak dapat berbuat apa-apa. Akhirnya, sang Musang dikurung oleh pemilik gudang dan menjadi binatang peliharaannya.↪ TAMAT ↩
Komentar
Posting Komentar